dharma wanita okayama

18 kippu ke Nagasaki

beranda | dwo | artikel | menu | anggota | figura

 

Tanggal 13-15 Agustus adalah libur Obon bagi orang Jepang. Pada tanggal 12 malam mereka berdoa dan membuat kuda-kudaan dari kyuuri agar arwah nenek moyang mereka datang dengan cepat (naik kuda) mengunjungi mereka di bumi ini. Pada tanggal 15 malam mereka mengirim kembali para arwah tersebut dengan naik sapi, yang dilambangkan dengan terong, agar si arwah pelan-pelan saja pulang ke dunianya kembali.

Pada tanggal 14 Agustus 2004 jam 5.22 pagi kami pergi ke Nagasaki. Perjalanan memakan waktu sekitar 13 jam, dengan 3 kali ganti kereta, di Itozaki, Shinyamaguchi, Kokura dan Tosu.

Tiba di Urakami eki sekitar jam 18.20 (1 stasiun sebelum Nagasaki eki), kami turun, lalu segera naik trem menuju gereja katedral di Urakami, sebelah Heiwa Koen. Setelah dengan cepat memotret bagian depan gereja, kami mengikuti misa selama 1 jam, lalu mencari hotel yang telah kami pesan sebelumnya melalui internet.

Tapi itulah susahnya, internet nggak selalu menggambarkan keadaan sesungguhnya. Walaupun feeling nggak terlalu OK, tapi daripada tidur di stasiun, kami memesan kamar yang katanya salah satu hostel yang lumayan Minshuku Siebold, seharga 3000 yen per orang, plus makan pagi. Untungnya hanya bisa 1 malam, karena besoknya penuh. Hostelnya parah. Pengelolanya sepasang suami istri tua. Mereka sebenarnya baik, tapi istrinya cerewet sekali, dan strik banget. Makan paginya, sih, OK. Tapi untuk jalan ke sana perlu naik trem 4 stasiun dulu.  Agak susah carinya kalau sudah gelap. Saya hanya bisa menyarankan jangan menginap di hotel itu. Tidurnya di lantai 2, lantainya berderak-derak kalau kita jalan, nggak nyaman sama sekali. Antar kamar sekatnya semi permanen, nggak ada privasi, deh. Ngomong kencang sedikit tetangga denger....yah, bisik-bisik tetangga juga kedengeran, lho.

Setelah menelpon beberapa hotel, kami mendapat sebuah hotel yang terletak pas di depan stasiun Nagasaki, Orient Hotel, tertulis dengan huruf katakana. Bukan hanya hotel itu yang lumayan. Ternyata ada 1 hotel lain yang menawarkan kamar untuk 1 sampai 3 orang. Utk 1 orang 6000 yen, 2 orang 9000 yen, kalau mau bertiga juga bisa, satu kamar isi 3 orang 12.600 yen. Seorang 4200 yen.

Pemilihan hotel ini penting, karena kita kalau kita mau kembali ke Okayama dengan kereta paling pagi, jam 6.04.

Untuk transportasi di Nagasaki kita bisa membeli karcis 1 hari untuk bis ranran warna orange seharga 300 yen atau trem dengan harga 500 yen. Tapi tampaknya karcis trem lebih praktis. Karcis trem satu hari hanya bisa dibeli di hotel atau tempat-tempat tertentu, seperti warung rokok. Di convenience store nggak ada. Kami membelinya di pos trem tersebut di pemberhentian trem terakhir Hotarujaya, samping Family Mart. Karena tempat tersebut yang paling terdekat dari hostel tempat kami menginap. Tempat itu sebenarnya buka sejak jam 6 pagi. Sayangnya kami baru tahu jam 9, rugi 3 jam.

Sebetulnya kalau beli satu-satu juga nggak mahal, sih. Ke mana saja kita naik trem, sejauh apapun juga, orang dewasa 100 yen, anak-anak 50 yen. Kalau kita merencanakan perjalanan dengan baik, kita bisa mengeluarkan uang kurang dari 500 yen, lho. Cuma, siaplah dengan sepatu jalan, karena Nagasaki sangat berbukit-bukit seperti Bandar Lampung atau Bandung..... Mungkin lebih mirip Bandung karena banyak gedung jaman Belanda-nya.

Karena si nenek menolak menyediakan makan pagi sebelum jam 7.30, kami jalan-jalan melihat bagian depan musium Siebold yang dibangun gaya Belanda berdinding merah. Selain itu kami sempat naik ke sebuah jinja di bukit. Dari situ seluruh kota Nagasaki terlihat dengan jelas.

Dari situ kami ke tugu peringatan 26 martir Katolik Jepang, yang terletak 200 meter dari Nagasaki eki. Di taman itu ada penjual es krim yang membentuk es-nya seperti bunga mawar. Rasanya sih biasa, lebih enak es puter di Indonesia. Tapi bentuknya patut dipuji, persis bunga mawar. Di belakang taman itu terdapat bangunan lucu dengan 2 menara seperti ekor ikan. Dari taman ini pula kita bisa melihat Fukusaiji, sebuah kuil dengan patung Kanon (Budha di atas bunga teratai) dengan 3 anak kecil yang berdiri di atas kura-kura. Untuk mengunjungi kuil tersebut kita perlu turun melewati WC tercantik se Nagasaki (menurut saya, lho), beberapa kali naik turun tangga, dan memotretnya dari menara lonceng di dekat patung tersebut. Katanya lonceng ini dibunyikan setiap hari pada jam 11.02, tepat pada saat bom dijatuhkan di Nagasaki.

Obyek ini tidak selalu ada di peta wisata Nagasaki berbahasa Inggris, tapi terus terang saja sangat layak dikunjungi. Untuk masuk ke dalam bangunannya kita perlu bayar 200 yen. Tapi untuk masuk halaman dan foto-foto, sih, gratis. Obyek ini dibuat pada tahun 1976. Jadi bukan obyek kuno.

Kemudian kami pergi ke Meganebashi, yang merupakan jembatan dengan 2 lengkungan, sehingga terlihat seperti kacamata kalau bayangan jembatan itu di air sungainya terlihat juga. Terus terang saja, saya lebih suka melihat Meganebashi di halaman istana kaisar di Tokyo. Tapi kuil Kofukuji di dekat Meganebashi, cukup bagus untuk dikunjungi, walau harus bayar 300 yen. Dari Meganebashi, tanpa sengaja kami melewati gereja katolik yang memiliki satu-satunya tiruan salib Fransiscus Xaverius. Gereja ini tidak seindah gereja lainnya, tapi altarnya memukau.

Kalau nggak ada waktu, lewati saja kuil dan jembatan ini. Cepatlah pergi ke Sofukuji, di dekat pemberhentian trem terakhir Shokakuji-shita, kuil gaya Cina yang meriah dengan warna merah. Di sini juga kita perlu bayar 200 yen, dan lagi-lagi harus naik turun tangga. Kuil ini termasuk layak untuk dilihat.

Karena tidak ada waktu, kami cepat pergi ke Shinchichuukago (mungkin perlu dikoreksi namanya), atau Shinchi china town. Seperti Nankinmachi di Kobe, khas Cina. Hanya saja lebih kecil, dan tidak ada pedagang kaki limanya. Untuk makan, kita perlu masuk restoran. Kami sempat makan champon, bakmi khas Nagasaki seharga 700 yen. Tapi kok rasanya agak manis, ya. Yakisobanya mirip bakmi jawa yang pakai tauge, rasanya OK. Mie siramnya lumayan. Tapi biar gimana, yang mirip bakmi jawa paling enak. Dasar orang Indonesia. (Akibatnya untuk makan berikutnya kami memilih bento hoka-hoka tei, atau makanan supermarket / convenience store, daripada makanan mahal dan tidak jelas rasanya di restoran.) Toko semua barang 1000 yen-nya terdapat barang-barang dengan sentuhan gaya cina.

Di dekat china town ini terdapat area bangunan asli cina jaman dulu. Tapi setelah melihat satu bangunan saja, kami cepat meninggalkan tempat itu dan pindah mencari obyek lain untuk dilihat.

Yang kami dapat adalah Orandasaka, atau Hollander/Dutch slope, yaitu jalan menanjak dengan bangunan gaya Belanda di puncaknya. Kalau orang Bandung atau orang Bogor, mah, pasti ngomong, yah, gitu aja dibanggain. Sangat jelas, lebih bagus dan lebih asli bangunan Belanda di Indonesia.

Dari situ kami pergi ke kuil Konghucu (Confucian shrine), Koshi-Byo, yang mempesona. Bayar masuknya mahal, 525 yen. Kalau mahasiswa Nagasaki, sih, mungkin gratis atau lebih murah. Tapi dengan membayar 525 yen kita bisa melihat berbagai hal mengagumkan. Bukan hanya patung guru/dewa yang berjejer saja, musiumnya menyajikan berbagai ukiran cina pada akar bambu, hanko emas raja cina, dll, dll. Kartupos 6 helainya dijual 100 yen. Benar-benar koleksi yang mengagumkan, dan sangat direkomendasikan untuk dilihat. Di toko cindera matanya dijual berbagai barang khas cina, termasuk kartu-kartu mainan dengan motif cina.

Dari Koshi-Byo kami pergi ke depan Glover garden dan memutuskan untuk tidak masuk, karena di dalamnya hanya taman dan bangunan gaya Belanda. Perjalanan lalu diteruskan ke Gereja Katolik Oura. Tapi itu pun tidak masuk ke dalam, hanya berfoto di luarnya, karena lagi-lagi harus bayar untuk masuk ke kedua tempat tersebut. Area ini telah menjadi area wisata yang sangat ramai.

Menyeberangi jalan utama menuju jalur trem, terdapat musium bakmi....Tapi kami bergegas menuju stasiun trem untuk pergi ke Dejima. Dejima musium mengutip biaya 200 yen. Tapi kita tidak perlu bayar untuk melihat-lihat di area tersebut, nonton film sejarah Dejima selama 12 menit (bisa dengan headphone berbahasa Inggris), dan melihat miniatur Dejima, lengkap dengan kebun anggurnya.

Dari area musium Dejima kami menyeberang ke pantai, melihat pelabuhan Nagasaki dan Dejima Wharf, semacam pusat rekreasi dan tempat belanja.

Dengan tergesa kami pergi ke Heiwa Koen, tempat yang harus dikunjungi di Nagasaki. Tamannya bagus, lengkap dengan patung orang yang menunjuk ke atas dan ke kiri, dan gratis. Di belakang Heiwa Koen terdapat gereja Katedral Urakami yang besar sekali. Bangunan khas Belanda berdinding bata merah dengan kaca patri khas Eropa. Untuk masuk ke gereja itu jalannya menanjak, karena gereja itu terletak di atas bukit. Gereja ini hancur kena bom atom, tapi dibangun kembali, dan selesai pada tahun 1959. Bagus untuk difoto. Gereja ini sebenarnya sudah kami datangi untuk mengikuti misa pada hari sebelumnya. Tapi karena sudah malam, waktu untuk berfoto sangat terbatas.

Setelah sempat beristirahat di hotel dan mandi..... (itulah untungnya kalau hotelnya terletak di tengah kota, pas di depan eki, ke mana-mana dekat), kami cepat keluar lagi untuk melihat festival lampion.

Kami sangat beruntung karena datang pada saat Obon tanggal 15. Tepat pada hari itu diadakan festival lampion. Pada umumnya mereka menyalakan lampion dan mengalirkannya di sungai, seperti yang dilakukan di Hiroshima. Selain itu mereka membuat perahu dengan muatan kue-kue yang diberi foto kerabat yang meninggal di bagian depannya dan dihiasi banyak lampion serta di depannya diberi nama keluarga ybs, dengan kertas warna merah, dah diberi lampu hingga terang sekali. Kami pergi ke stasiun trem Ohato. Pemandangannya sangat indah, karena perahu berlampion itu berbaris di jalan yang menurun. Mereka mengaraknya sepanjang jalan hingga pelabuhan Ohato. Sepanjang jalan mereka berteriak, berlari, melemparkan petasan dan kembang api, dan sangat ribut. Ukuran perahu menunjukkan status keluarga tersebut. Keluarga kaya mungkin juga dengan beberapa kerabat meninggal, membuat perahu yang besar, sampai 3 kali panjang perahu pada umumnya. Keluarga tidak berada membuat perahu kecil saja dan digendong hingga ke pelabuhan. Pada akhirnya perahu tersebut diangkat dengan alat berat kapal di pelabuahn dan diturunkan ke tempat khusus untuk dihancurkan. Menyedihkan, ya. Berapa juta yen terbuang percuma........kalau menurut orang Indonesia, lho....

Untuk yang mau merencanakan perjalanannya dengan lebih seksama, obyek wisata di Nagasaki bisa dilihat di:

http://travel.yahoo.com/p-travelguide-486536-nagasaki_vacations-i

Sementara rencana perjalanan dengan kereta api bisa dicari di:

http://www.japan-guide.com/e/e2362.html

http://grace.hyperdia.com/cgi-english/hyperd01.cgi

Pulang dari Nagasaki kami naik kereta jam 6.04. Setelah pindah kereta di Tosu, Kokura dan Shimonoseki, kami dapat langsung pulang ke Okayama. Tapi, karena nggak mau rugi, kami mampir di Iwakuni untuk melihat jembatan Kintaikyou yang baru selesai direnovasi. Jembatan kayu indah ini sering sekali menjadi tempat shooting film-film Jepang, karena bentuknya yang artistik. Dengan naik bis 240 yen kami tiba di jembatan itu sekitar jam 15.30. Agak tergesa-gesa, dan panaaaaaaaaaaaas sekali. Membuat ingin cepat berendam di sungai di bawah jembatan itu. Sungainya dangkal, karena musim panas, lho, sehingga kita bisa main bahkan parkir mobil di bantaran sungai tersebut.

Untuk berjalan di atas jembatan itu kita harus bayar 300 yen, atau 390 yen sekalian masuk ke Iwakunijo, dengan kereta gantung. Kami hanya melalui jembatan itu untuk tiba di taman Kikkou. Rencananya, sih, melihat patung ular putih.....

Waktu kembali dari taman tersebut, ternyata untuk melewati jembatan itu kita tidak perlu bayar lagi, karena telah lewat jam 5 sore.... Aduh, sebal, deh.

Tapi apa boleh buat, bis wisata terakhir ke arah stasiun berangkat jam 17.13. dan kami tidak mau ketinggalan bis, karena kereta special rapid ke Okayama berangkat jam 18.09, untuk tiba di Okayama menjelang jam 10 malam.

Tiga hari perjalanan dengan 2 juuhachi kippu berlalu sudah. Kulit terbakar matahari, kaki pegal, sedikit demam karena kurang tidur dan kena AC kereta api yang kencang belum membuat kami kapok untuk membuat perjalanan melelahkan lainnya.